Proses Pemberdayaan Masyarakat

Metoda adalah cara kerja yang sistematis untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan; Jadi, secara mendalam sebenarnya kata Metodologi mengandung nilai-nilai kehidupan yang sangat mendasar. Metodologi dalam perspektif pengembangan masyarakat adalah proses membangkitkan kesadaran masyarakat secara bersama-sama, mewujudkan kesejahteraan dan peradaban yang tinggi.

Melalui metodologi kita bersama masyarakat berusaha memperoleh gambaran yang lengkap mengenai realitas sosial multidimensional dalam kaitan struktural dan historis.

Paham Metodologi yang kita anut adalah proses yang terfokus pada pemberdayaan dan pembebasan masyarakat dari belenggu ketidakberdayaan.

Oleh sebab itu mendorong masyarakat memahami realitas kehidupan menjadi titik tekan program kerja yang telah dirancang.

Lihat, Dengar, Pikir, Tulis Refleksi

Apa yang kita lihat, dengar, pikir, tulis refleksi kehidupan sehari-hari di lapangan akan digodok untuk merancang aksi ke 2. Misi yang diemban pada aksi ke 3 akan ditentukan oleh Lihat, Dengar, Pikir, Tulis Refleksi pada aksi ke dua. Demikian seterusnya. Sehingga melalui proses tersebut kita semakin menguasai gambaran realitas sosial di komunitas. Fase atau sistematika implementasi program dalam konteks metodologi sangatlah ditentukan oleh intensitas hubungan fasilitator di tengah-tengah masyarakat. Secara kelembagaan hanya mengukur kinerja fasilitator dalam interaksinya di komunitas. Inilah pijakan konseptual untuk pelaksanaan/sistematika program.

Dorongan semangat pengulangan terjun ke lapangan dengan disiplin yang ketat akan membantu kita semakin menyadari betapa pentingnya memahami hal-hal yang menarik dan yang menjadi kebutuhan komunitas. Betapa pentingnya jiwa yang rendah hati dalam membangun dialog yang segar . Demi untuk menampung aspirasi – aspirasi yang diutarakan oleh masyarakat. Implementasi program haruslah mengarah kepada pengenalan realitas komunitas secara utuh, sekaligus pengenalan akan diri sendiri.

Atas dasar Metoda pelaksanaan program seperti ini, kita harapkan :
A. Semakin banyak masyarakat terlibat dalam proses memahami realitasnya.
B. Semakin objektif argumentatif menggambarkan realitas sosial.
C. Semakin kuat integrasi antara fasilitator dan masyarakat

Point C di atas, memang harus terus menerus dilaksanakan. Point C di atas adalah persoalan internal yang tidak punya kaitan langsung dengan kontrak kerja. Sedangkan apa yang tertera pada point A dan B harus menjadi perhatian yang tekun dari fasilitator sebagai tahapan dari pelaksana program. Hal itu karena semakin banyak masyarakat terlibat dalam proses Dengar, Lihat, Pikir dan Tulis Refleksi. Dan, semakin objektif argumentatif realitas sosial yang disimpulkan.

Membangun Interaksi dan Komunitas

Ada seorang anak yang sangat suka makan nasi goreng. Pada suatu hari dia berangkat ke pinggir sungai untuk memancing. Di mata kailnya bukan nasi goreng yang dibuatnya menjadi umpan ikan. Melainkan cacing. Karena kita tahu bahwa ikan yang dipancingnya suka makan cacing, bukan nasi goreng.

Oleh sebab itu dalam interaksi dengan komunitas, kita harus membunuh seluruh cita rasa dan status sosial kita. Sambil memeras otak dan hati nurani agar mampu memahami cita rasa serta seluruh aspek kehidupan komunitas. Cita rasa dan aspek kehidupan mereka yang sangat jauh dari realitas kehidupan kita sehari hari.

Dalam proses menghilangkan cita rasa status sosial agar mampu memahami cita rasa kehidupan komunitas, — kita harus sadar bahwa metoda utamanya adalah : “Ngobrol Panjang yang Segar” —. Inilah keterampilan pokok dan mutlak harus dimiliki oleh fasilitator. Karena “Ngobrol panjang dan segar” adalah sarana untuk masuk ke proses memahami alam pikir dan alam kehidupan masyarakat semaksimal mungkin. Bukan ngobrol yang tanpa arah.

Dengan tidak sungguh-sungguh merendahkan hati ketika berinteraksi, maka sering sekali kita jadi jenuh panik sesak nafas dan salah arah dalam menjalankan program. Kita membuat komunitas hanya mendengar instruksi-instruksi dan keinginan kita yang angkuh ini.
Sering juga kita kehabisan kata-kata dalam berinteraksi. Padahal, ngobrol panjang adalah salah satu usaha memberanikan komunitas mengekspresikan dirinya. Dan, terlibat menentukan arah dan tahapan dari program yang dirancang.

Fasilitator dan komunitasnya selalu melakukan komunikasi. Tempat kita untuk saling mempertukarkan pengalaman, saling mengutarakan perasaan serta alat melayani warga mengekspresikan sikap, keinginan dan impiannya.
Mengelola ngobrol dengan metoda partisipatif menempatkan diri sejajar dengan komunitas. Memang dibutuhkan sikap sabar penuh kedewasan.dan selalu belajar.

Lihat, Dengar, Pikir, Tulis Refleksi lama kelamaan akan dikerjakan secara partisipatif bersama sama dengan komunitas. Jangan berhenti dan tidak bergairah menjalankan program. Cambuk diri kerjakan tugas penuh semangat — pasti fasilitator semakin bijaksana —-.
Pantat parang yang tebal itu kalau diasah dengan seksama lama kelamaan bisa juga tajam mampu menyembeleh leher sapi yang tebal..

Pemerintahan Indonesia hanya sarat dengan kolusi korupsi nepotisme dan jauh dari etos kerja produktif. Fasiltator hadir untuk masuk ke proses menggapai kehidupan masyarakat sejahtera yang berperadaban. Betapa beruntungnya kita ini. Itu makanya kita laksanakan proses ini semaksimal mungkin,
 

Sejarah Singkat Banyuwangi

Monumen
Merujuk data sejarah yang ada, seanjang sejarah Blambangan, kiranya tanggal 18 desember 1771 merupakan peristiwa sejarah yang paling tua yang patut diankat sebagai hari jadi Banyuwangi. Sebelum peristiwa puncak perang Puputan Bayu tersebut sebenarnya ada peristiwa lain yang mendahuluinya, yang juga heroik patriotik, yaitu peristiwa penyerangan para pejuang Blambangan dibawah pimpinan Pangeran Puger (putra Wong Agung Wilis ) kebenteng VOC di Banyualit pada tahun 1768

Namun peristiwa itu tidak tercatat secara lengkap pertanggalannya, dan selain itu terkesan bahwa dalam penyerangan tersebut kita kalah total, sedang pihak musuh hampir tidak menderita kerugian apapun. Pada peristiwa itu Pangeran Puger gugur, sedang Wong Agung Wilis setelah Lateng dihancurkan, terluka ,tertangkap dan dibuang ke pulau Banda. Berdasarkan data sejarah nama Banyuwangi tidak dapat terlepas dengan kerajaan Blambangan. Sejak jaman Pangeran Tawang Alun (1655 – 1691- 1736) dan Pangeran Danuningrat (1736 – 1763), bahkan juga sampai ketika Blambangan berada di bawah perlindungan Bali (1763 – 1767) VOC belum pernah tertarik untuk memasuki dan mengelola Blambangan.

Pada tahun 1743 Jawa bagian timur (termasuk Blambangan) diserahkan oleh paku Buwono II kepada VOC, VOC merasa Blambanngan memang sudah menjadi miliknya, namun untuk sementara masih dibiarkan sebagai barang simpanan, yang baru akan dikelola sewaktu waktu kapan saja kalau sudah diperlukan. Bahkan ketika Danuningrat meminta bantuan VOC untuk melepaskan diri dari Bali, VOC masih belum tertarik untuk melihat ke Blambangan, yang pada waktu itu juga disebut Tirtaganda, Tirta Arum atau Toyaarum

maka VOC langsung bergerak untuk segera merebut Banyuwangi dan mengamankan seluruh Blambangan. Secara umum dalam peperangan yang terjadi pada tahun 1767 – 1772 itu, VOC memang berusaha untuk merebut seluruh Blambangan. Namun secara khusus sebenarnya VOC terdorong untuk segera merebut Banyuwangi, yang pada waktu itu sudah mulai berkembang menjadi pusat perdagangan di Blambangan, yang telah dikuasai Inggris.

Dengan demikian jelas, bahwa lahirnya sebuah tempat yang kemudian menjadi terkenal dengan nama Banyuwangi, telah menjadi kasus beli terjadinya peperangan dahsyat, perang Puputan Bayu. Kalau sekiranya Inggris tidak bercokol di Banyuwangi pada tahun 1766, mungkin VOC tidak akan buru buru melakukan ekspansinya ke Blambangan pada tahun 1767, dan karena itu mungkin perang Puputan Bayu tidak akan terjadi (puncaknya) pada tanggal 18 Desember 1771. Dengan demikian pasti terdapat hubungan yang erat perang “Puputan Bayu “ dengan lahirnya sebuah tempat yang bernama Banyuwangi. Dengan perkataan lain,perang Puputan Bayu merupakan bagian dari proses lahirnya Banyuwangi. Karena itu, penetapan tanggal 18 Desember 1771 sebagai hari jadi Banyuwangi sesungguhnya sangat rasional*.

SEJARAH SINGKAT KERAJAAN BLAMBANGAN
Kerajaan Blambangan adalah kerajaan yang berpusat di kawasan Blambangan, sebelah selatan Banyuwangi. Raja yang terakhir menduduki singgasana adalah Prabu Minakjinggo. Kerajaan ini telah ada pada akhir era Majapahit. Blambangan dianggap sebagai kerajaan bercorak Hindu terakhir di Jawa.

Sebelum menjadi kerajaan berdaulat, Blambangan termasuk wilayah Kerajaan Bali. Usaha penaklukan kerajaan Mataram Islam terhadap Blambangan tidak berhasil. Inilah yang menyebabkan mengapa kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk pada budaya Jawa Tengahan, sehingga kawasan tersebut hingga kini memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh Bali juga tampak pada berbagai bentuk kesenian tari yang berasal dari wilayah Blambangan.

SEJARAH SINGKAT BANYUWANGI
Merujuk data sejarah yang ada, sepanjang sejarah Blambangan kiranya tanggal 18 Desember 1771 merupakan peristiwa sejarah yang paling tua yang patut diangkat sebagai hari jadi Banyuwangi. Sebelum peristiwa puncak perang Puputan Bayu tersebut sebenarnya ada peristiwa lain yang mendahuluinya, yang juga heroik-patriotik, yaitu peristiwa penyerangan para pejuang Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Puger ( putra Wong Agung Wilis ) ke benteng VOC di Banyualit pada tahun 1768.

Namun sayang peristiwa tersebut tidak tercatat secara lengkap pertanggalannya, dan selain itu terkesan bahwa dalam penyerangan tersebut kita kalah total, sedang pihak musuh hampir tidak menderita kerugian apapun. Pada peristiwa ini Pangeran Puger gugur, sedang Wong Agung Wilis, setelah Lateng dihancurkan, terluka, tertangkap dan kemudian dibuang ke Pulau Banda ( Lekkerkerker, 1923 ).

Berdasarkan data sejarah nama Banyuwangi tidak dapat terlepas dengan keajayaan Blambangan. Sejak jaman Pangeran Tawang Alun (1655-1691) dan Pangeran Danuningrat (1736-1763), bahkan juga sampai ketika Blambangan berada di bawah perlindungan Bali (1763-1767), VOC belum pernah tertarik untuk memasuki dan mengelola Blambangan ( Ibid.1923 :1045 ).

Pada tahun 1743 Jawa Bagian Timur ( termasuk Blambangan ) diserahkan oleh Pakubuwono II kepada VOC, VOC merasa Blambangan memang sudah menjadi miliknya. Namun untuk sementara masih dibiarkan sebagai barang simpanan, yang baru akan dikelola sewaktu-waktu, kalau sudah diperlukan. Bahkan ketika Danuningrat memina bantuan VOC untuk melepaskan diri dari Bali, VOC masih belum tertarik untuk melihat ke Blambangan (Ibid 1923:1046)

Namun barulah setelah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan dan mendirikan kantor dagangnya (komplek Inggrisan sekarang) pada tahun 1766 di bandar kecil Banyuwangi ( yang pada waktu itu juga disebut Tirtaganda, Tirtaarum atau Toyaarum), maka VOC langsung bergerak untuk segera merebut Banyuwangi dan mengamankan seluruh Blambangan. Secara umum dalam peprangan yang terjadi pada tahun 1767-1772 ( 5 tahun ) itu, VOC memang berusaha untuk merebut seluruh Blambangan. Namun secara khusus sebenarnya VOC terdorong untuk segera merebut Banyuwangi, yang pada waktu itu sudah mulai berkembang menjadi pusat perdagangan di Blambangan, yang telah dikuasai Inggris.

Dengan demikian jelas, bahwa lahirnya sebuah tempat yag kemudian menjadi terkenal dengan nama Banyuwangi, telah menjadi kasus-beli terjadinya peperangan dahsyat, perang Puputan Bayu. Kalau sekiranya Inggris tidak bercokol di Banyuwangi pada tahun 1766, mungkin VOC tidak akan buru-buru melakukan ekspansinya ke Blambangan pada tahun 1767. Dan karena itu mungkin perang Puputan Bayu tidak akan terjadi ( puncaknya ) pada tanggal 18 Desember 1771. Dengan demikian pasti terdapat hubungan yang erat perang Puputan Bayu dengan lahirnya sebuah tempat yang bernama Banyuwangi. Dengan perkataan lain, perang Puputan Bayu merupakan bagian dari proses lahirnya Banyuwangi. Karena itu, penetapan tanggal 18 Desember 1771 sebagai hari jadi Banyuwangi sesungguhnya sangat rasional.

Sumber : Museum Daerah "BLAMBANGAN" Banyuwangi
 

Pemberdayaan Masyarakat

Ilustrasi
A. DEFINISI PEMBERDAYAAN
Sekilas, makna pemberdayaan memiliki makna luas dari beberapa sudut pandang. Agar dapat memahami secara mendalam tentang pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat. 

Robinson (1994) menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan sosial; suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan kebebasan bertindak. Sedangkan Ife (1995) mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment,” yang berarti memberi daya, memberi ”power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya. 

Payne (1997) menjelaskan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya bertujuan untuk membantu klien mendapatkan daya, kekuatan dan kemampuan untuk mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan dan berhubungan dengan diri klien tersebut, termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan “keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, ketrampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan tanpa tergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal. 

Empowerment atau pemberdayaan secara singkat dapat diartikan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada kelompok masyarakat untuk berpartisipasi, bernegoisasi, mempengaruhi, dan mengendalikan kelembagaan masyarakat secara bertanggung jawab demi perbaikan kehidupannya. Pemberdayaan juga diartikan sebagai upaya untuk memberikan daya (empowerment) atau kekuatan (strength) kepada masyarakat.

B. TUJUAN PEMBERDAYAAN
Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan sertamelakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki.

C. ASPEK PEMBERDAYAAN
Ditinjau dari lingkup dan objek pemberdayaan mencakup beberapa aspek, yaitu:
  1. Peningkatan kepemilikan aset (Sumber daya fisik dan finansial) serta kemampuan secara individual maupun kelompok untuk memanfaatkan aset tersebut demi perbaikan kehidupan mereka.
  2. Hubungan antar individu dan kelompok, kaitannya dengan pemilikan aset dan kemampuan memanfaatkannya.
  3. Pemberdayaan dan reformasi kelembagaan.
  4. Pengembangan jejaring dan kemitraan-kerja, baik di tingkat lokal, regional maupun global.

D.  PROSES PEMBERDAYAAN
Pranarka & Vidhyandika (1996) menjelaskan bahwa ”proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang mene-kankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya.

Kecenderungan pertama tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungansekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apayang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog”.

Sumardjo (1999) menyebutkan ciri-ciri warga masyarakat berdaya yaitu:  
  1. Mampu memahami diri dan potensinya,mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan)
  2. Mampu mengarahkan dirinya sendiri
  3. Memiliki kekuatan untuk berunding
  4. Memiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan, dan 
  5. Bertanggungjawab atas tindakannya.

Proses pemberdayaan masyarakat adat, akan menyisakan berbagai tantangan yang multidimensional. Peran kebijakan pemerintah tentulah diperlukan untuk mempercepat komunitas ini lebih mandiri dan siap menyongsong perubahan sosial yang semakin memperkuat modal sosial.

Slamet (2003) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud denganmasyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, faham termotivasi,berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternative, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengansituasi. Proses pemberdayaan yang melahirkan masyarakat yang memiliki sifat seperti yang diharapkan harus dilakukan secara berkesinambungan dengan mengoptimalkan partisipasi masyarakat secara bertanggungjawab.

E. UNSUR-UNSUR PEMBERDAYAAN
Upaya pemberdayaan masyarakat perlu memperhatikan empat unsur pokok, yaitu:
  1. 1. Aksesbilitas informasi : Kemampuan akses yang diterima oleh masyarakat.
  2.  Partisipasi atau keterlibatan : Menyangkut siapa yang dilibatkan dan bagaimana mereka terlibat dalam keseluruhan proses pembangunan.
  3. Akuntabilitas : Pertanggungjawaban publik atas segala kegiatan yang dilakukan dengan mengatasnamakan rakyat.
  4. Kapasitas organisasi lokal : Kemampuan berkerja sama, mengorganisir warga masyarakat, serta memobilisasi sumber daya untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi.

F.  METODE PEMBERDAYAAN
Kegiatan pemberdayaan masyarakat merupakan kesatuan proses yang berkelanjutan melalui kegiatan “kaji tindak yang partisipatif” atau dikenal sebagai Participatory Action Research/ PAR. Pengertian PAR bukanlah sebuah ‘proyek’ yang melibatkan partisipasi masyarakat, melainkan lebih bernuansa filosofis untuk memberikan kesempatan dan kepercayaan terhadap kemampuan dan kemauan masyarakat untuk melaksanakan pembangunan di wilayahnya sendiri dan bagi kepentingan peningkatan masyarakatnya sendiri sesuai dengan kebutuhan potensi yang mereka miliki sendiri, melalui kegiatan aksi dan refleksi yang berkelanjutan.

Di dalam pelaksanaanya, PAR dilaksanakan sebagai berikut;
  1. Kegiatan pengumpulan data dasar, dilaksanakan dengan menggabungkan teknik penilaian desa secara cepat (Rapid Rural Appraisal/ RRA) yang dilakukan oleh orang luar dan survai mandiri yang dilakukan sendiri oleh masyarakat melalui Community Self Survei/ CSS.
  2. Kegiatan perencanaan kegiatan yang dilakukan melalui kegiatan penilaian partisipatif atau Participatory Rural Appraisal/ PRA.
  3. Kegiatan aksi merupakan ‘proses belajar’ yang terus menerus dan dilaksanakan dalam bentuk pelatihan (in door dan out door) yang kait mengait secara berkelanjutan, dengan menggunakan metode pendidikan orang dewasa yang partisipatif (Participatory Training Method).
  4. Refleksi dilakukan juga oleh masyarakat dalam bentuk pemantauan dan evaluasi kegiatan melalui Participatory Assesment for Monitoring and Evaluation.
 

Peran Perempuan dan Pembangunan Nasional

Ilustrasi
Bung Karno dalam bagian akhir buku Sarinah: Kewajiban Wanita Dalam Perjoangan Republik Indonesia, mengatakan:

"...Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah serta mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan jika Republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam usaha menyusun Negara Nasional”.

Jangan ketinggalan di dalam Revolusi Nasional ini dari awal sampai akhirnya, dan jangan ketinggalan pula nanti didalam usaha menyusun masyarakat berkeadilan sosial dan kesejahteraan sosial.

Di dalam masyarakat berkeadilan sosial dan berkesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi wanita yang bahagia, wanita yang merdeka!"

Dari pesan Bung Karno tersebut, kita dapat menarik tiga hal utama, yakni: 
Pertama, bahwa kaum perempuan (Wanita Indonesia), memiliki tanggung jawab sejarah untuk menyelamatkan negara, dalam arti yang seluas-luasnya. Usaha menyelamatkan negara, bukan saja berarti suatu perjuangan fisik di medan perang, akan tetapi juga upaya-upaya untuk menjaga agar jiwa kebangsaan warga bangsa dan keberagaman tetap tegak.

Kedua, bahwa kaum perempuan memiliki peran dan tanggungjawab yang strategis, yakni ambil bagian di dalam proses menyusun negara. Hal ini berarti bahwa kaum perempuan harus berani untuk tampil ke depan dan terlibat secara aktif dalam usaha-usaha menyusun negara: memastikan negara berjalan dalam garis konstitusi, dan bergerak mencapai cita-cita proklamasi.

Ketiga, bahwa kaum perempuan memiliki peran dan tanggungjawab dalam menggerakkan perubahan sosial, yakni perubahan yang mengantarkan rakyat Indonesia (warga bangsa) kepada kehidupan yang adil dan makmur atau masyarakat berkeadilan sosial dan sejahtera.

Pesan Bung Karno ini tentu saja membangkitkan optimisme di kalangan kaum perempuan, terutama untuk merumuskan bentuk-bentuk pengabdiannya kepada ibu pertiwi. Kita membutuhkan cara pandang dan sikap optimis di dalam melihat hari depan bangsa. Meski demikian, kita juga tetap berpijak pada kenyataan yang ada. Dalam hal posisi kaum perempuan, masih diperlukan upaya untuk merubah cara pandang lama yang memarjinalisasi kaum perempuan dengan cara pandang baru yang membebaskan, memuliakan dan memberikan tempat terhormat di dalam proses pembangunan, sebagaimana juga yang dimaksudkan oleh Bung Karno.

Merubah Pandangan Lama.

Kita menyadari sepenuhnya bahwa pandangan lama yang memarjinalkan kaum perempuan, sesungguhnya masih ada di masyarakat, atau bahkan pada sebagian elit politik. Kaum perempuan dipandang sebagai warga kelas dua. Sebagai pihak yang hanya punya hak berkiprah di wilayah domestik, sementara wilayah publik dipandang bukan menjadi hak kaum perempuan. Kaum perempuan dipandang sebagai pihak yang lemah, emosional, tidak dapat menggunakan akal budinya, dan tidak mampu mengembangkan kepemimpinan yang kuat dan efektif. Kaum perempuan dipandang tidak akan mampu masuk ke wilayah politik pemerintahan, karena wilayah ini dipandang sebagai wilayah yang keras, kompleks dan membutuhkan stamina fisik, sehingga tidak mungkin kaum perempuan berkiprah di sana.

Memang pandangan-pandangan tersebut pada saat ini sudah tidak lagi menjadi dominan, karena ada banyak peristiwa yang memperlihatkan bahwa pandangan-pandangan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. Kita punya banyak pengalaman yang memperlihatkan bahwa kaum perempuan juga memiliki kemampuan yang sama, dan bahkan dalam beberapa kasus, kaum perempuan dapat melahirkan karya yang lebih baik. Kini kaum perempuan makin memperlihatkan kiprah dan jati dirinya, melalui berbagai karya di berbagai bidang. Kita hampir sulit menemukan jenis pekerjaan yang tidak dapat dimasuki oleh kaum perempuan. Dari pekerjaan-pekerjaan rumahan, sampai dengan pekerjaan memimpin negara, telah mampu dikerjakan dengan baik oleh kaum perempuan. Kiprah Ibu Hj. Megawati Soekarnoputri sesungguhnya merupakan teladan yang sangat baik bahwa kaum perempuan sesungguhnya memiliki kekuatan yang sangat luar biasa.

Apa yang kita perlukan adalah suatu proses perubahan pandangan yang bersifat menyeluruh. Pandangan lama harus digantikan dengan pandangan yang baru. Pandangan baru yang dimaksud adalah pandangan yang melihat kaum perempuan adalah manusia yang juga memiliki hak dan kesempatan yang sama. Dengan pandangan baru ini segala bentuk diskriminasi yang membatasi ruang gerak perempuan hendaknya dihapuskan dan digantikan dengan pandangan yang memperluas ruang gerak kaum perempuan. Lebih dari itu, perlu pula dikembangkan suatu pandangan yang menempatkan kaum perempuan tetap sebagai kaum perempuan. Yakni pandangan yang menilai kiprah dan karya perempuan dari sudut perempuan, dan bukan dari sudut yang lain. Sebagai contoh. Dalam menilai kiprah dan model kepemimpinan kaum perempuan dalam panggung politik pemerintahan, hendaknya cara kita menilai, tetaplah menggunakan sudut pandang perempuan, sehingga perempuan tidak didorong merubah jati dirinya. Kaum perempuan tentu memiliki karakter dan gaya yang khas dalam memimpin, sesuai dengan kepribadiannya.

Peran Dalam Pembangunan.

Kiprah kaum perempuan dalam pembangunan sangatlah diperlukan. Mengapa demikian? Selain argumentasi normatif, yang memperlihatkan bahwa kaum perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama, terdapat suatu kenyataan bahwa "beban" yang kini dihadapi oleh kaum perempuan amatlah berat. Sebut saja kasus-kasus seperti angka kematian ibu melahirkan atau masalah akses terhadap layanan kesehatan yang baik, angka buta huruf atau keterbelakangan dalam pendidikan, masalah kemiskinan dan kelangkaan lapangan pekerjaan bagi perempuan, sampai dengan masalah kekerasan yang kerapkali menimpa kaum perempuan, baik kekerasan dalam rumah tangga ataupun kekerasan lain di luar rumah.

Untuk itulah kaum perempuan hendaknya mengambil peran strategis dalam proses pembangunan, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Bung Karno, agar kaum perempuan ikut memastikan arah gerak negara, sehingga kaum perempuan mendapatkan hak dasarnya sebagai manusia yang mulia. Dengan keterlibatan kaum perempuan, maka kepentingan kaum perempuan akan lebih tersalurkan dan lebih dari itu, kebijakan-kebijakan yang muncul akan mencerminkan suatu kebijakan yang berorientasi pada kesetaraan dan keadilan gender. Adapun peran strategis yang dapat dijalankan oleh kaum perempuan meliputi:

Pertama, peran untuk ambil bagian dalam merancang suatu model baru pembangunan, yang digerakkan oleh suatu tata kelola pemerintahan yang baik dan adil gender. Kaum perempuan dapat mendorong berkembangnya pandangan baru dan ukuran-ukuran baru, sehingga kiprah kaum perempuan tetap dilihat dalam kacamata perempuan dan bukan kacamata yang bias gender.

Kedua, peran untuk ambil bagian dalam proses politik, khususnya proses pengambilan keputusan politik yang dapat berimplikasi pada kehidupan publik. Dalam hal ini, kaum perempuan sudah saatnya membangun keberanian untuk memasuki ranah politik, baik menjadi penggerak partai politik, masuk ke parlemen, atau berjuang melalui posisi kepala daerah.

Ketiga, peran untuk ambil bagian dalam proses sosial-ekonomi dan produksi, serta proses kemasyarakatan yang luas. Kaum perempuan dapat menjadi penggerak kebangkitan perekonomian nasional yang lebih berkarakter, yakni perekonomian yang berbasis produksi, bukan konsumsi.

Kaum perempuan sudah saatnya memanfaatkan ruang yang telah terbuka dengan sebaik-baiknya. Beberapa kebijakan yang mulai memperlihatkan suatu kesadaran tentang kesetaraan dan keadilan gender, tentu perlu diperluas dan pada gilirannya arah dan seluruh gerak negara, berorientasi pada usaha membangun tata kehidupan yang setara dan berkeadilan. Kita percaya bahwa hal ini sangat mungkin diwujudkan, sepanjang kita setia pada cita-cita proklamasi kemerdekaan dan ideologi bangsa, yakni Pancasila. Dengan berjalan di atas garis ideologi dan cita-cita proklamasi, kita percaya bahwa tata hidup yang setara dan berkeadilan, akan dapat diraih dengan gemilang.
 

Pemberdayaan Perempuan dan Perubahan Sosial

Ilustrasi
Dalam harian Kompas beberapa waktu lalu disebutkan, komitmen Indonesia dalam melaksanakan tujuan pembangunan milenium (Millenium Development Goals atau MDG’s) mengalami penurunan yang signifikan. Posisi terakhir, hanya dapat disejajarkan dengan Myanmar dan negara-negara Afrika umumnya.

Jangan tanya negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang di dasawarsa 70-an banyak belajar dari Indonesia, dengan mendatangkan sejumlah mahasiswa ke berbagai perguruan tinggi dan para pekerja minyak ke Pertamina. Jadilah University of Malaysia dan Petronas seperti sekarang, meninggalkan jauh “guru”-nya.

Selain pendidikan dan perminyakan, salah satu yang paling menonjol ialah tentang kesetaraan gender yang merupakan salah satu indikator MDG’s.

Berbicara soal pergerakan perempuan Indonesia, sebenarnya tak terlepas dari kemajuan bangsa Indonesia sendiri. Gerakan emansipasi yang banyak didengungkan organisasi wanita barat mem-booming pada dasawarsa kedua di abad ini. Hal tersebut direspon oleh para elit wanita Indonesia dengan melaksanakan Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta, pada akhir tahun 1928. Ini dapat dikatakan sebagai kemerdekaan kaum perempuan, yang mendahului kemerdekaan negara Indonesia sendiri.

Secara sosial budaya, peristiwa ini merupakan tonggak sejarah kemajuan wanita Indonesia. Bayangkan saja, pada masa itu kungkungan adat sering dituding menomorduakan wanita Indonesia di belakang kaum pria. Demikian pula penterjemahan yang salah dari dogma agama, seolah menjadi pembenaran bahwa kaum perempuan harus berada di belakang kaum adam dalam segala aspek dan bidang kehidupan.

Dari peristiwa Kongres Perempuan Indonesia I tadi dapat dikatakan, respon perempuan Indonesia waktu itu, untuk mengadakan kongres adalah suatu proses perubahan sosial-budaya, yang merupakan bagian dari proses pembangunan masyarakat Indonesia.

Sama halnya seperti lahirnya sejumlah program penanggulangan kemiskinan yang mulai dipertegas melalui UU No. 5 Tahun 1990, tentang Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) untuk hal yang bersifat ekonomi kerakyatan. Program IDT disusul dan dilengkapi P3DT untuk kegiatan infrastruktur pedesaan. Selanjutnya “dikawinkan” melalui program PPK yang menangkap kedua program (ekonomi dan infrastruktur) yang dikenal dengan open menu. Kemudian disusul dengan kegiatan sejenis untuk di perkotaan dengan nama P2KP.

Namun, sebenarnya yang membedakan adalah payung besarnya. PPK melalui Kementrian Dalam Negeri, dan P2KP melalui Departemen Pekerjaan Umum, meski keduanya sama-sama menyitir pemberdayaan perempuan sebagai salah satu isunya.

Secara socio-anthropologist, suatu pembangunan dapat dikatakan sebagai suatu proses yang secara sengaja diadakan untuk mendorong perubahan sosial budaya ke suatu arah tertentu. Sedangkan perubahan sosial budaya, seperti yang dikatakan Antropolog dan peneliti senior LIPI EKM Masinambow, merupakan suatu proses perubahan yang mencakup, antara lain menggeser hal-hal yang sudah ada, menggantikannya, mentransformasikannya, dan menambah yang baru, yang kemudian berdiri berdampingan dengan hal-hal uang sudah ada.

Kembali ke masalah pembangunan yang berwawasan gender (Gender Equitable Development atau GED) yang di Indonesia saat ini sering dikaitkan dengan kemiskinan dan pembangunan yang tak berkelanjutan. Ahli Community Capacity Building lulusan Columbia University (AS), Aisyah Muttalib mengatakan, GED adalah suatu transformasi untuk men-gender-kan (en-gender) ekonomi hingga akan terwujud suatu tatanan ekonomi baru, di mana pemerataan gender dipegang sebagai suatu nilai yang paling mendasar.

Ekonomi baru seperti inilah yang telah dijalankan oleh seluruh wanita di dunia secara otomatis sebagai kodrat kewanitaannya. Mereka mengelola sumber daya demi mempertahankan segalanya. Bukan saja kehidupan diri, tapi juga keluarganya, masyarakat, dan anak-anak yang dilahirkannya. (Tety Hartya, Praktisi Pemberdayaan Perempuan/Ari Hariadi, mantan Community Development & Women In Development NTT-WRDS CIDA, KMW I P2KP-2 Kalbar; Nina)
 

Profil KPM Banyuwangi

LEMBAGA
KOMUNITAS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
( KPM )

PENDAHULUAN

Setiap pelaksanaan program pembangunan selalu dan sering diikuti oleh kata-kata pemberdayaan, masyarakat sudah dilibatkan dalam proses pembangunan, perencanaan pembangunan menggunakan dengan pola bottom-up, dan banyak lagi yang mengatasnamakan pemberdayaan masyarakat tetapi bagaimana pelaksanaannya..? Realitas masih banyak masyarakat yang tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, masyarakat diundang dalam setiap pertemuan..? Ya.. Setelah itu..Tidak tahu..!! Itulah yang terjadi di lingkungan masyarakat perdesaan. Pemberdayaan masyarakat tak ubahnya sebuah proyek yang dapat diselesaikan tepat waktu tanpa ada penguatan masyarakat untuk keberlanjutan perkembangan kemandirian masyarakat.

Dalam UU no 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) menjamin mekanisme perencanaan yang partisipatif dengan mengedepankan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pembangunan. Namun dalam kenyataannya proses perencanaan yang berasal dari bawah tersebut masih belum berjalan sesuai harapan, mengingat masih begitu dominannya pendekatan “top down” dalam pembangunan di Indonesia. Proses musrenbang yang dilaksanakan selama ini ternyata belum mampu mengakomodir kebutuhan riil masyarakat mengingat proses penganggaran yang masih didominasi oleh dinas-dinas/SKPD. 

Pemberdayaan masyarakat tidak hanya sekedar tertulis dalam setiap program pembangunan atau slogan kebijakan pemerintah tetapi benar-benar dapat diterapkan/direalisasikan untuk mewujudkan kemandirian masyarakat melalui pendekatan pembangunan Dari, Oleh, Untuk Masyarakat (DOUM). Dalam hal ini masyarakat ditempatkan sebagai subyek pembangunan yang berperan dalam setiap tahapan pembangunan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan tahapan pelestarian hasil-hasil pembangunan.

Pemberdayaan masyarakat merupakan tugas kita bersama baik dari pemerintah, swasta maupun masyarakat sendiri untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat khususnya masyarakat miskin dalam menentukan atau memperbaiki kehidupannya. Salah satu keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dapat diukur dari tugas pokok utama pemerintah yaitu pelayanan yang membuahkan keadilan, pembangunan yang menciptakan kemakmuran dan pemberdayaan yang menumbuhkan kemandirian. 

Sebagai masyarakat yang peduli terhadap pemberdayaan masyarakat, kami mencita-citakan suatu pemberdayaan masyarakat yang mengarah pada pengembangan kemampuan masyarakat dalam membuat perencanaan dan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial atau memenuhi kebutuhan sosial sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimilikinya, dapat mengubah perilaku masyarakat dengan berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka, dan mengorganisir diri masyarakat dengan dimotivasi untuk terlibat dalam kegiatan peningkatan pendapatan dengan menggunakan sumber-sumber dan kemampuan-kemampuan mereka sendiri.

Dalam kenyataannya, seringkali proses pemberdayaan masyarakat tidak muncul secara otomatis, melainkan tumbuh dan berkembang berdasarkan interaksi masyarakat setempat dengan para pelaku pemberdayaan masyarakat yang berperan sebagai pendamping/fasilitator/kader pemberdayaan masyarakat.

Sebagai bentuk kepedulian terhadap pemberdayaan masyarakat dan kondisi sosial masyarakat, kami sebagai pendamping/fasilitator/kader pemberdayaan masyarakat pada tanggal 24 Februari 2010 berketetapan hati untuk membentuk dan bergabung dalam wadah Lembaga Komunitas Pemberdayaan Masyarakat (KPM). 

Komunitas Pemberdayaan Masyarakat merupakan lembaga/wadah bagi seluruh pendamping/fasilitator/kader/pemerhati pemberdayaan masyarakat dari berbagai program/kegiatan yang bertekad dan berkomitmen bersama secara profesional untuk mewujudkan masyarakat madani.


VISI LEMBAGA

Mewujudkan kemampuan dan kemandirian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam rangka penanggulangan dan pengentasan kemiskinan dengan pola Pemberdayaan Masyarakat


MISI LEMBAGA
  1. Memperkuat kapasitas dan kelembagaan masyarakat, pemerintahan desa, mengefektifkan fungsi dan peran pemerintahan lokal untuk mendorong terwujudnya pelembagaan sistem pembangunan partisipatif
  2. Membantu pemerintah dan lembaga lainya dalam mensosialisasikan rencana dan program pemberdayaan masyarakat kepada masyarakat maupun pihak lainya yang berkepentingan.
  3. Mendorong terwujudnya transparansi dan akuntabilitas dalam suatu kerjasama lokal yang berlandaskan prinsip saling percaya antar stakeholders pemerintahan lokal di Indonesia.
  4. Mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi masyarakat sesuai dengan prinsip demokratisasi, kemanusiaan dan berkeadilan.
  5. Mendorong terjadinya transformasi sosial pada multi pihak untuk mewujudkan masyarakat madani (Civil Society)
  6. Memberikan pelatihan-pelatihan kepada masyarakat dan pemerintahan lokal dalam rangka peningkatan kapasitas agar mampu menciptakan kemandirian
  7. Mewujudkan pengembangan dan kemandirian kelompok / ruang belajar masyarakat
  8. Membangun tradisi dan membudayakan serta menumbuh-kembangkan nilai-nilai kemasyarakatan melalui penguatan-penguatan pada pemahaman atas prinsip demokratisasi, kemanusiaan dan keadilan.
  9. Mewujudkan kemampuan dan kemandirian masyarakat yang meliputi aspek ekonomi, sosial budaya, politik dan lingkungan hidup melalui penguatan pemerintahan desa dan kelurahan, lembaga kemasyarakatan dan upaya dalam penguatan kapasitas masyarakat.
  10. Mewujudkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pelestarian pembangunan
  11. Mewujudkan transparansi dan partisipasi masyarakat dengan adanya unit pengaduan dan penanganan masalah dalam proses pelaksanaan kegiatan pembangunan
  12. Penguatan pembangunan yang dilaksanakan dari, oleh dan untuk masyarakat meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemanfaatan dan pemeliharaan hasil-hasil pembangunan serta pengembangan tindak lanjut hasil pembangunan, dengan peran serta seluruh lapisan masyarakat


PRINSIP
Dalam mewujudkan visi dan misi Lembaga KPM berpegang teguh pada prinsip: Independen, Profesional, Kepedulian terhadap Masyarakat Miskin, Demokratis, Keterbukaan, Akuntabilitas, Kebebasan, Persaudaraan, Kesetaraan, Kemitraan, Kerelawanan


BIDANG DAN BENTUK KEGIATAN
  • Pelayanan Informasi
  1. Sebagai pusat informasi melalui pengelolaan penerbitan dan publikasi tentang pemberdayaan masyarakat, kelembagaan masyarakat, dll
  2. Menyediakan dan mengembangkan kelompok/ruang belajar masyarakat
  3. Menyediakan jasa pelayanan informasi perkembangan teknologi, pelatihan, jaringan usaha, peluang usaha, informasi pasar, informasi pembiayaan/ permodalan dan lain-lain
  4. Sumber-sumber informasi dari lembaga/pusat informasi lainnya yang dimiliki oleh pemerintah, dunia usaha, masyarakat maupun dari internet
  5. Memberikan informasi dan mediasi perkembangan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dan peraturan serta Undang-Undang yang berlaku sesuai dengan bidang pemberdayaan masyarakat yang ada.
  • Pelayanan Usaha
  1. Menyediakan jasa konsultasi dan bimbingan untuk kegiatan usaha maupun kelembagaan masyarakat,
  2. Membangun dan mengembangkan ekonomi kerakyatan sesuai dengan potensi yang dimiliki masyarakat dan daerah
  3. Penyusunan bisnis Plan dan pembuatan studi kelayakan program-program untuk pemberdayaan masyarakat, usaha kecil dan menengah
  4. Meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan ekonomi yang bertumpu pada potensi sumberdaya lokal dengan tetap menjaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup.
  5. Membantu pelaksanaan promosi, pameran, misi dagang, perluasan jaringan pemasaran dan temu usaha
  6. Pelayanan dibidang perijinan
  7. Meningkatkan kualitas hidup dan derajat kesehatan masyarakat melalui pemenuhan sarana dan prasarana yang memadai.
  8. Aplikasi teknologi tepat guna
  9. Berperan aktif dalam upaya-upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis, bersih dan berwibawa
  10. Usaha yang dilakukan dapat dilakukan secara mandiri dan atau bekerja sama dengan pihak lain berdasarkan prinsip hubungan kerja kemitraan dan kesetaraan.
  11. Kegiatan usaha-usaha lainnya yang tidak bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  • Pelayanan Pendidikan dan Pelatihan
  1. Sebagai pusat pendidikan dan pelatihan, mengorganisir pelaksanaan seminar, pemagangan dan studi banding.
  2. Pengembangan riset dan teknologi sebagai usaha mencerdaskan kehidupan bangsa.
  3. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam bentuk pendampingan, pelatihan-pelatihan dan penelitian.
  • Pelayanan Advokasi
  1. Menyiapkan pendamping masyarakat yang profesional, berkualitas, handal dan tangguh.
  2. Memberikan pembelaan kepada masyarakat dalam rangka pemenuhan hak rakyat atas pembangunan
  3. Memberikan pembelaan, penyelesaian kasus, memperjuangkan kepentingan-kepentingan kelembagaan masyarakat, usaha masyarakat, dll.
  • Alih Teknologi
  1. Memberikan pelayanan dalam rangka penguasaan, pemanfaatan serta alih teknologi
  2. Memberikan bantuan teknis dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dan pembangunan partisipatif
  • Forum Komunikasi
  1. Menyelenggarakan forum komunikasi pemberdayaan masyarakat untuk membahas meningkatkan kemampuan/kapasitas konsultan, pendamping, fasilitator pemberdayaan masyarakat
  2. Forum diskusi, komunikasi dan kajian pembahasan peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemberdayaan masyarakat
  3. Sarana penyalur aspirasi anggota dan atau masyarakat dan sebagai sarana komunikasi sosial timbal balik antara anggota dan atau antara organisasi kemasyarakatan dengan organisasi kekuatan sosial politik, badan permusyawaratan perwakilan rakyat dan pemerintah;
  4. Memelihara dan melestarikan seni budaya dan adat istiadat untuk memperkokoh jati diri Bangsa Indonesia ditengah peradaban dan pergaulan bangsa-bangsa di dunia
 

Pro Kontra Fasilitator Pribumi

Sunaryo, M.Pd
PRO KONTRA FASILITATOR PRIBUMI
(oleh : Sunaryo, M.Pd)
Pro kontra penilaian kinerja fasilitator PNPM Mandiri Perdesaan asal daerah yang ditempatkan di daerahnya masing-masing menjadi unik, bila hal ini menjadi bahasan dalam Rakorprov Jawa Timur, akhir Oktober 2011 kemarin. Fasilitator asal daerah yang ditempatkan di daerahnya dipandang miring oleh beberapa pejabat dalam rapat koordinasi program di tingkat provinsi (Rakorprov). 

Beberapa pejabat berpandangan bahwa fasilitator asal daerah sulit dikendalikan dan sulit diatur dalam memenuhi keinginan para pejabat di tingkat kabupaten. Hal ini justru Lebih runyam lagi bila munculnya pandangan tersebut, hanya di dasarkan pada sentimen pribadi yang berlebihan dan tidak dilandasi studi analisis tentang kinerja fasilitator asal daerah dengan fasilitator luar daerah.

Hasil pengamatan dan studi kasus yang telah kami lakukan menunjukkan bahwa, kinerja fasilitator lokal justru berbanding terbalik terhadap anggapan beberapa pejabat asal kabupaten dalam rapat koordinasi program di Jawa Timur kemarin. 

Dalam studi kasus yang kami lakukan, sikap sulit dikendalikan dan sulit diatur tersebut dilakukan oleh fasilitator lokal, karena ternyata mereka memiliki aturan tersendiri dalam menjalankan program PNPM Mandiri Perdesaan, yaitu Petunjuk Teknis Operasional (PTO) yang dikeluarkan oleh kementrian dalam negeri Republik Indonesia. Sehingga jika ada kebijakan diluar aturan tersebut fasilitator lokal lebih berani untuk menentangnya, karena menurut fasilitator, mereka mempunyai tanggungjawab moral kepada masyarakat terhadap keberlangsungan program yang harus berpihak pada masyarakat miskin didaerahnya sendiri, hal inilah yang kemudian memicu munculnya respon debat diskusi di kalangan fasilitator lokal untuk menanggapi intervensi politik dan atau kepentingan pribadi terhadap program yang di kawalnya. 

Hasil studi kami mununjukan bahwa, pada bulan September 2011, dua (2) kecamatan di kabupaten Banyuwangi yang di fasilitasi oleh semua fasilitator lokal, tingkat pengembalian kredit usaha mikro (Simpan Pinjam khusus Perempuan) mencapai 100 persen, dan salah satu dari 2 kecamatan tersebut menjadi kecamatan terbaik yang diumumkan dalam semiloka SKPD dan DPRD tahun anggaran 2012, pada 8-9 November 2011 bulan ini. 

Hasil pengamatan kami yang lain juga memperkuat bahwa, Fasilitator lokal justru lebih matang dalam melakukan pendampingan perencanaan program. Dari hasil penelitian kami, 2 (dua) kecamatan di Banyuwangi yang bisa dan berhasil melaksanakan strategi integrasi program pada tahun 2011 hingga tahapan musrenbangcam (sebagaimana Juknis Integrasi kemendagri no. 414.2/2207/PMD, tanggal 18 Mei 2010) juga di fasilitasi oleh fasilitator lokal.

Berdasarkan hasil pengamatan penulis dilapangan menunjukkan bahwa, tingkat hubungan emosional antara fasilitator lokal dengan eksekutif dan legislatif lebih dekat dan kuat, sehingga jika ini dimanfaatkan dan dikembangkan tentu dalam rangka integrasi program tahun 2012 dan selanjutnya, dapat terlaksana dengan baik dan sukses. apalagi dalam juknis integrasi diatur bahwa, fasilitator di dituntut mampu memfasilitasi masyarakat lokal untuk menyampaikan dengar pendapat (hearing) dengan anggota dewan/eksekutif dan juga bupati/eksekutif. 

Hal inilah yang menjadi alasan mengapa pada tahun 2009, bupati Banyuwangi meminta fasilitator asal daerah bisa ditempatkan di daerahnya masing-masing, karena bisa saja bupati berpandangan bahwa fasilitator lokal lebih memahami peta wilayah, politik, geografis dan karakter sosial masyarakat di daerahnya. Sehingga diharapkan percepatan pembangunan bisa lebih cepat tercapai dengan hadirnya fasilitator asal daerah ini. Hal ini tentu sejalan dengan undang-undang otoda no. 32 tahun 2004. 

Penulis adalah:
pengamat pemberdayaan masyarakat, dan sebagai koordinator Lembaga Swadaya masyarakat (LSM) Komunitas Pemberdayaan Masyarakat (KPM) Indonesia
 
 
Support : Creating Website | KOD Template | FTemplates
Copyright © 2011. KPM Banyuwangi - All Rights Reserved
Modificated by KOD Tutor | Portal Informasi Online
Proudly powered by Blogger